Watugunung
(Watu Gunung) yang disebutkan dalam wukudengan
urip 8 dan bilangan 30. Tersebutlah sebuah kisah watugunung sebagaimana yang
disebutkan dalam lontar
medangkemulan, sebagai salah satu acuan lontar dalam perhitungan
kalender Bali.
Watugunung
adalah seorang anak dari raja Kundadwipa yang bernama Dang Hyang Kulagiri dan
ibunya bernama Dewi Sintakasih.
Pada
mulanya diceritakan, setelah lama bersuami istri, lalu Sang Raja Dang Hyang
Kulagiri berkata kepada kedua istrinya, Dewi Sintakasih dan Dewi Sanjiwartia.
Sang Raja menyampaikan bahwa beliau segera akan pergi ke Gunung sumeru untuk
menjalankan tapa,
juga mengingatkan supaya permaisurinya baik-baik saja tinggal di kraton selama
beliau pergi dan kedua istri beliau menyetujuinya.
Tak diceritakan keadaan sang raja bertapa sudah cukup lama sekarang diceritakan
Dewi Sintakasih sudah hamil tua. Dewi Sintakasih bercakap-cakap dengan Dewi
Sanjiwartia, memperbincangkan sang raja belum datang. Akhirnya dalam percakapan
itu diputuskan akan mencari suaminya ke gunung Sumeru (tempat sang raja
bertapa).
Tersebutlah kedua istri sang raja berangkat dari kraton, menuju tempat suaminya
bertapa, sampailah perjalanan beliau pada lereng Gunung Sumeru, Dewi Sintakasih
sakit perutnya makin lama makin sakit sebagai tanda akan melahirkan.
Duduklah Dewi Sintakasih di atas batu yang datar dan lebar, melepaskan lelahnya
sambil menahan rasa sakit perutnya tetapi sayang tidak tertahan saat itu juga
Dewi Sintakasih melahirkan bayi laki-laki dan pecahlah batu tersebut karena
tertimpa badan si bayi.
Setelah hal tersebut terjadi gelisah dan berdukacitalah Dewi Sintakasih bersama
Dewi Sanjiwartia. Saat itu pula turunlah Ida Hyang Padmayoni, bertanya kepada
para putri itu, apa sebabnya mereka bersedih.
Sang Dewi menghormat sambil berkata: “Ya, yang terhormat batara, hambamu ini
ditinggal oleh suami bertapa di lereng Gunung Sumeru, sejak hamba baru
mulai hamil hingga sekarang. Sampai kelahiran putra
hamba ini belum juga beliau datang (kembali), itulah sebabnya
hambamu ini bersedih hati”.
Demikianlah kata kedua putri itu menghormat kehadapan Ida Hyang Padmayoni yang
disebut sebagai Dewa Brahma.
Dewa Brahma setelah mendengar cerita kedua putri tersebut beliau sangat bahagia
dan mendoakan supaya bayi itu panjang umur terkenal di dunia serta diberikan
anugerah yang hebat tidak terbunuh oleh para dewa,
danawa, detya, manusia tak terbunuh pada malam hari maupun pada siang hari,
tidak mati dibawah maupun di atas, tidak terbunuh oleh senjata. Kecuali yang
dapat membunuhnya adalah Dewa Wisnu.
“Dan karena bayimu lahir di atas batu, aku anugrahi nama I Watugunung”.
Demikianlah sabda Dewa Brahma. Sang Dewi keduanya menghormat dan menghaturkan
terima kasih. Kemudian gaiblah Dewa Brahma kembali ke Kahyangan yang
disebut Brahma Loka.
Ketika lenyapnya Dewa Brahma, sang dewi keduanya ke kraton dengan memangku
seorang putra. Tersebutlah bayi itu mengalami pertumbuhan yang amat cepat,
sampai-sampai ibunya merasa kewalahan meladeni bayinya untuk memberi makan
karena bayinya makan amat kuat.
Heranlah kedua permaisuri itu melihat putranya demikian hebatnya makan,
kadang-kadang satu kali masak atau satu periuk dihabiskan dalam sekali
makan tanpa ada sisanya.
Makin hari makin bertambahlah kesibukan ibunya untuk meladeni putranya yang
luar biasa itu. Sampai-sampai merasa kewalahan untuk memberi makan dan selalu
menuntut untuk makan.
Tersebutlah pada suatu hari ibuny sedang memasak di dapur, datanglah sang
Watugunung mendekati ibunya seraya minta nasi untuk dimakan. Ibunya
berkata : ”Anakku bersabarlah menunggu sementara ini nasinya belum
masak”.
Demikian kata ibunya tetapi sang Watugunung tidak menghiraukan dan melahan
mendesak supaya cepat-cepat memberikan nasi karena perutnya sudah lapar. Karena
tidak tahan ketika itu pula sang Watugunung mengambil dengan sendiri tanpa
bantuan ibunya, dan langsung nasi yang sedang dimasak itu disantapnya sampai
habis tidak menghiraukan sudah matang atau belum, pendeknya dalam keadaan masih
panas sudah dihabiskan.
Melihat perilaku putranya demikian sangat tidak sopan, ibunya menjadi
naik pitam dan mengambil sodo (siut) langsung memukul putranya tepat di
kepalanya sampai berlumuran darah, sang Watugunung menangis terisak-isak
menahan luka yang dideritanya.
Ketika sakit dari lukanya sudah agak reda Watugunung meninggalkan kraton karena
saking krodha dengan
marahnya menuju gunung Emalaya.
Dalam perjalanan sang Watugunung berbuat seenaknya saja terual makanan,
merampok terutama dalam hal makanan, merampok makanan rakyat dan langsung
dimakannya.
Penduduk di sekitar lereng Gunung Emalaya merasa sangat heran melihat
perilaku anak kecil itu yang serba berani, memaksa makanan dari penduduk.
Hal ini sangat mengganggu kesejahteraan dan keamanan penduduk. Karena penduduk
merasa kewalahan untuk mengahadapi tingkah polah anak itu, akhirnya
masalahnya dilaporkan kepada raja Giriswara.
Mendengar laporan itu sang raja merasa terkejut, dan naik darah seketika itu
juga memerintahkan rakyatnya untuk membunuh Watugunung.
Setelah mendengar keputusan raja seluruh lapisan kekuatan daerah itu
menyerang sang Watugunung dengan merebutnya dan memukul dengan
bermacam-macam senjata, serangan datang dari segala sudut yang kesemuanya
tertuju ke badan sang Watugunung. Tetapi sayang seluruh serangan dan seluruh
senjata penyerang tidak ada yang mempan.
Sang Watugunung sedikit pun tidak ada yang cidera. Sang Watugunung terus mengadakan
aksinya dengan mengobrak-abrik yang menyerangnya, menghancurkan kelompok
penyerang yang hebat itu. Sehingga pasukan penduduk Emalaya lari terbirit-birit
untuk menyelamatkan jiwanya dari kepungan Watugunung. Sang Raja sangat
marah mengetahui keadaan rakyatnya dihancurkan oleh Watugunung.
Raja Girisrawa dengan hati yang membara turun ke medan perang dengan
persenjataan yang lengkap untuk menghadapi sang Watugunung. Maka terjadilah
perang tanding antara raja Giriswara dengan Watugunung, yang sama-sama
hebat dan sakti dalam peperangan itu.
Perang tanding itu berlangsung 7 (tujuh) hari. Dan pada
akhirnya Raja Giriswara dapat dikalahkan oleh sang Watugunung, sehingga
raja Giriswara tunduk dan menghormat kepada sang Watugunung, mengenai kekalahan
kerajaan Emalaya.
Tersebutlah sang Watugunung melanjutkan serangan mengarah ke kerajaan
Pasutranu yang rajanya bernama Prabu Kuladewa.karena serangan yang dilakukan
Watugunung rakyat Kuladewa tidak tinggal diam, maka terjadilah pertempuran yang
tidak kurang dahsyatnya dengan pertempuran di kerajaan Girisrawa. Rakyat
Kuladewa kewalahan menghadapi serangan Watugunung yang hebat itu.
Akhirnya mereka lari tunggang langgang menyelamatkan jiwanya masing-masing.
Namun akhirnya sampai raja Kuladewa dapat dikalahkan, dan tunduk kepada
Watugunung.
Sang Watugunung melanjutkan serangannya kepada raja Talu, raja Mrabuana, raja
Wariksaya, raja Pariwisaya, raja Julung, raja Sunsang dan yang lainnya
dengan mudah dapat ditundukkan.
Keseluruhan dari kerajaan yang dikalahkan berjumlah 27 kerajaan dan sampai
semua Rajanya tunduk kepada sang Watugunung. Tak ketinggalan juga rakyat
beserta daerahnya menjadi jajahan sang Watugunung. Kesaktian ini diperolehnya
pada saat lahirnya di kaki Gunung Sumeru dari Sang Hyang Padmayoni. Selama 150
tahun sang Watugunung memerintah daerah jajahannya.
Dalam pemerintahannya itu beliau selalu menanyakan kepada raja-raja
taklukannya. Katanya : ”Hai para raja apakah ada raja yang hebat lagi
yang belum aku tundukkan?”. Para raja pun menjawab ” Daulat tuanku maha raja
Girisila Emalaya, masih ada dua orang raja lagi yang belum tuanku tundukkan
yaitu keduanya perempuan yang amat rupawan bertahta di negara Kundadwipa yang
sangat diagungkan oleh rakyatnya dan dihormatinya. Jika tuanku dapat
mengalahkannya kedua raja itu sangat patut untuk dijadikan permaisuri tuanku
raja.
Demikianlah jawaban dari raja-raja yang didengar keterangannya. Dan raja
Girisila membenarkan. Setelah mendengar keterangan dari para raja
itu, Maharaja Girisila memerintahkan kepada rakyatnya supaya mempersiapkan diri
lengkap dengan persenjataan guna menyerang kerajaan Kundadwipa.
Rencana ini didengar oleh kerajaan Kundadwipa maka dari itu rakyat Kundadwipa
bersiap-siap untuk menyambut tamu yang tak diundang itu, tidak ketinggalan pula
dengan persenjataan yang memadai.dan pada saat terjadinya pertempuran
yang sengit, seram sampai aliran darah dari para korban menganak sungai.
Sama-sama perwira sama-sama gagah berani tidak ada yang mau menyerah
pantang mundur. Korban dari kedua belah pihak makin banyak, korban jiwa korban
harta dan yang lain-lainnya. Setelah pertempuran berlangsung yang menderita
kekalahan adalah di pihak Kundadwipa. Maka kedua raja perempuan itu dikawini,
karena lupa padahal itu adalah ibunya sendiri.
Pada suatu saat setelah lama bersuami istri, sang Watugunung menyuruh
kedua permaisurinya untuk mencari kutu di kepala suaminya.
Sedang asyiknya pekerjaan memburu kutu itu dilakukan terjadilah gempa bumi,
hujan dengan lebatnya disertai angin dan disambung oleh petir yang
mengguntur di langit.
Melihat tanda-tanda itu para dewa sangat khawatir kejadian apakah yang
bakal terjadi selanjutnya. Maka sekalian dewa menghadap Dewa Siwa.
”Haturnya yang mulia batara Siwa apakah sebabnya terjadi gerakan-gerakan
alam yang hebat seperti sekarang ini? Kemungkinan besar ada manusia yang
berbuat tidak sesuai dengan perikemanusiaan, tidak sesuai dengan tata susila,
membenarkan yang tidak benar berlaku seperti binatang”.
Mendengarkan keterangan Dewa seperti itu, Dewa Siwa segera memanggil pendeta
para dewa yaitu Bhagawan Narada (Rsi Priarana) supaya
menyelidiki perbuatan manusia di
dunia yang menyebabkan gerak alam yang dasyat ini.
Dang Hyang Narada segera turun untuk menyelidiki perbuatan manusia di dunia
ini. Diketahuilah sang Watugunung sedang asyiknya berkutu dengan kedua
istrinya.
Dengan segera Dang Hyang Narada kembali ke Siwa Loka (Swah Loka).
Melaporkan kejadian itu kepada Dewa Siwa. Kata beliau ”Yang mulia Dewa Siwa
kami datang dari dunia melaporkan hasil dari penyelidikan yang kami
lakukan dengan sangat teliti ternyata memang memang ada manusia berbuat
yang tidak memenuhi tata susila kemanusiaan yaitu sang Watugunung
mengambil kedua ibunya dipakai istri (dipakai permasuri).
Hal yang demikianlah sangat tidak tepat dilakukan oleh manusia”. Mendengar
laporan yang sangat meyakinkan itu Sang Hyang Sahasra menjadi naik pitam
dan menjatuhkan kutukan yang ditujukan kepada sang Watugunung, sabda
beliau : ”Hai kau sang Watugunung semoga engkau mati dibunuh Sang Hyang
Narayana (Dewa Wisnu) karena perbuatan yang sangat dursila itu
yaitu mengambil ibu kandung dipakai sebagai permaisuri (memperistri ibu
kandung), mengambil ”babu sodaran, mengambil tumin temen, kewaulan, babu
dimisan, keponakan ring nyama, rerama ringmisan, suta sodaran dan cucu”.
Semua yang tersebut di atas tidak boleh dijadikan istri. Jika ada manusia yang
melakukan hal itu, patut dibuang ke laut, dan jiwanya supaya disiksa oleh
rakyat batara Yama pada alam neraka (Bhur Loka).
Apabila kelak menjelma agar dalam kehidupannya itu selamanya menderita kesengsaraan”.
Demikian kutuk Sang Hyang
Tri Purusa.
Tersebutlah pada suatu hari sang Watugunung melakukan pemburuan kutu yang
dilakukan oleh kedua istrinya pada atau di atas kepala sang Watugunung yang
besar itu.
Saat asyiknya mencari kutu sambil menggaruk-garuk kepada maha raja, ketika
melipat-lipat rambut yang kurang teratur itu kedua istrinya tercengang
seketika, karena melihat bekas luka pada kepala yang sedang dielus-elusnya itu.
Maka teringatlah beliau dengan perbuatannya yang terdahulu yaitu memukul kepala
putranya dengan sodo (siut)sehingga menimbulkan luka di
kepala putranya demikian pertimbangan di dalam hati, beliau tidak dapat berbuat
apa-apa hanya diam tercengang, bahwa yang dipakai suami adalah putranya
sendiri.
Karena kedua pasang tangan istrinya menjadi agak lemas dan percakapan
kecil seketika menjadi hening. Dalam keheningan itu sang Watugunung bertanya
kepada kedua permaisurinya: ”Hai adinda kenapa diam seketika apa yang
menyebabkan coba jelaskan supaya kakanda mengetahui hal itu”.
Pertanyaan itu lama tidak dijawab karena dadanya merasa sesak, akhirnya
menjawab : ”Ampun tuanku raja, adapun yang menyebabkan kami berdiam
karena karena kami ngerempini (ngidam)”.
Sang Watugunung balik bertanya: ”Bagaimana adinda mengidam?”. Apa yang adinda
idamkan katakanlah! :
Kakanda
yang terhormat, kami mengingini seorang pembantu yang tidak boleh lain daripada
permaisuri Sang Hyang Wisnu”, demikianlah permaisuri beliau menjawab.
“Sangat sayang aku tidak mengetahui tempat Sang Hyang Wisnu, apakah dinda
berdua mengetahuinya?” Oh tempat Sang Hyang Wisnu ada di bawah tanah”.
Ya kalau demikian kanda bersedia untuk mencarinya”. Sang Watugunung mulai
memusatkan pikirannya (angrana sika) dengan mantap, sehingga
dengan kekuatan batinnya tanah (bumi) ini pecah sampai pada lapis yang
ketujuh.
Sang Watugunung turun ke lapis tanah yang ketujuh sampai di sana disambut oleh
Aribuana: Ah-ahih-ih apa maksud kedatanganmu?” mohon dijelaskan.
Sang Watugunung menjawab: “Aum Batara, adapun kedatanganku kemari, sebab berita
yang kudengar di dunia, bahwa Batara adalah yang amat pengasih, apa saja yang
diminta oleh manusia Batara izinkan”. Apa yang kau sebutkan itu memang benar”
jawab Sang Hyang Wisnu.
Kalau memang benar hal tersebut sekarang permintaanku adalah, jika engkau
memang mencintai diriku, saya mohon permaisuri Hyang Wisnu bagaimana engkau
izinkan bukan, katakanlah segera” Sang Hyang Wisnu segera menjawab” “Oh
permintaanmu bukan perilaku manusia, permintaanmu tidak benar, tidak boleh
meminta istriku cobalah minta yang lainnya, tentu aku akan penuhi,
kehebatan, senjata dan lain-lainnya”.
“Jika demikian halnya Dewa Wisnu berbohong tidak menepati (tidak setia) kepada
ucapan namanya, oh janganlah mengaku pada sadhu dharma (beriman
dan saleh), kamu berikan atau tidak, kalau kamu berikan istrimu
engkau selamat, kalau tidak engkau izinkan berbahayalah engkau”.
Sang Watugunung sangat marah. “Aum, seperti apa yang kamu katakan,
kalau aku tidak izinkan, bagaimana kehendakmu cobalah bilang”.
“Kalau Batara tidak izinkan, marilah segera kita berperang. Apakah kamu berani?
katakan” Bertambah-tambah marahlah sang Watugunung, kata-katanya kasar.
Demikian pula Hyang Wisnu (sangat marah) segera menjawab:
kalau benar seperti apa yang kamu katakan, aku betul-betul tidak memenuhi
permintaan, karena apa yang kamu katakan hal itu tidak benar (tidak
wajar)”.
Ketika itu sang Watugunung sangat marah, demikian pula Sang Hyang Ari, maka
terjadilah pertempuran yang amat dasyat saling kejar mengejar, tusuk
menusuk, pukul memukul dengan garangnya.
Tujuh puluh yuga lamanya Sang Hyang Wisnu berperang melawan sang Watugunung,
seribu kepalanya, dua ribu tangannya, dua ribu kakinya, matanya seperti
bintang, amat menakutkan, rupanya seperti api berkobar-kobar
menyala.
Sang Hyang Wisnu memurti (membesar
wujudnya) beliau berupa kurma, berlidah cakra,
bertaring tajam (suligi), atau(berbelai) bajra
yang amat utama, amat dasyat wujut kura-kura itu, besar badannya.
Karena sang Watugunung tidak dapat dikalahkan oleh dewa, tidak terkalahkan oleh
manusia, tak dikalahkan oleh bhuta, pisaca, tidak mati dibawah dan di atas,
tidak mati oleh raksasa dan detya yaksa sura.
Setelah Sang Hyang Wisnu berwujud Badawang (Kurma),
yang amat menakutkan, barulah beliau berperang. Bagaikan gelombang laut
yang murka, bergetarlah dunia ini, sehingga menyebabkan para dewa sibuk
bertanya. Sang Hyang Siwa pun berkata kepada para dewa: ”Hai anakku semua,
apakah kiranya yang terjadi sehingga terjadi getaran - getaran yang
hebat”.
Coba katakan!
Bhagawan Narada menjawab: ”Seperti apa yang batara katakan, hal itu
terjadi karena ada manusia yang congkak berbuat yang tidak wajar, tidak
lain manusia itu adalah si Watugunung, minta permaisuri dari Sang Hyang
Wisnu, itulah yang menyebabkan terjadinya pertempuran, karena perbuatan si
Watugunung amat berdosa.
Mendengar laporan Hyang Narada demikian, lalu sang Watugunung dikutuk oleh Batara
Sangkara. ”Jah tah smat, semoga si Watugunung mati, karena
perilakunya yang amat berdosa mau memperistri dari salah seorang dewa,
terus-menerus sampai pada penjelmaan kelak kemudian hari terbunuh oleh
kebesaran Hyang Ari” demikianlah kutuk Sang Hyang Sangkara.
Tersebutlah lagi pertempuran Sang Hyang Ari berhadapan dengan si Watugunung,
lalu keluarlah api yang amat hebat dari kurma perwujudan Hyang Wisnu,
disemburlah si Watugunung, dibelit oleh bajra ditikam dengan cakra.
Akhirnya kalahlah sang Watugunung, tembus dadanya. Berkatalah sang Watugunung:
”Ih Hyang Wisnu sekarang matilah aku dengan marahnya lalu mengatakan, aku
tidak akan henti-hentinya bermusuhan dengan dirimu, sampai kepada penjelmaanku
yang ketujuh aku tidak akan melupakan hal ini.
Hyang Wisnu berkata: ”benar katamu itu, tetapi dimanakah engkau akan menjelma?
Katakanlah! Sang Watugunung menjawab aku akan menjelma di Lengka dengan nama
Dasasia dan sebaliknya menanyakan kepada Hyang Wisnu di mana akan menjelma
nanti?
Hyang Aribuana menjawab (bersabda): ”Ih Watugunung, kalau
demikian katamu aku akan menjelma di Yodyapura; pada maharaja Dasaratha
dan setiap kali aku lahir, selalu dapat membunuh dirimu!” akhirnya
meninggallah sang Watugunung.
Demikianlah diceritakan tentang sang Watugunung yang termuat dalam lontar
Medangkamulan lembar 1a – 9b.
Tentang cerita lahirnya Wuku yang pernah termuat dalam majalah Bhagawanagara,
disebut pula dipetik dari lontar Medan Kamulan dengan jalan cerita yang agak
berbeda seperti di bawah ini.
Tersebutlah setelah istri sang Watugunung keduanya minta permaisuri sang
Hyang Wisnu sebagai pembatunya (babu), dengan segera sang Watugunung mengutus
sang Warigadian ke Surga, membawa surat ke hadapan Hyang Ari.
Setelah surat itu di bawa, Hyang Wisnu amat marah dan segera menantang sang
Watugunung untuk bertempur.
Hal itu disampaikan oleh sang Warigadian yang mengakibatkan sang Watugunung
menjadi marah, segera memerintahkan memukul kentongan, rakyatnya semua
berkumpul lengkap dengan senjata, segera menyerbu ke surga.
Terjadilah pertempuran yang sangat dasyat bunuh membunuh antara kedua
pihak, sampai Sang Hyang Wisnu merasa tertekan karena serangan dari
pasukan Watugunung.
Diceritakan sang Watugunung sedang berada di tempat tidur disertai oleh
kedua orang permaisurinya.
Istri sang Watugunung menanyakan kejadian peperangan yang telah terjadi
dan juga menanyakan hal tersebut sang Watugunung berkata: ”Janganlah adikku
berdua memberitahu kepada orang lain (awywa wera), kesaktianku ini tidak akan
dapat dikalahkan oleh para dewa, bhuta, danawa, kala, raksasa,
manusia. Namun ada yang dapat mengalahkan, jika ada orang sakti (nara
wisesa) berwujud kurma (empas/badawang), berkuku yang kuat itulah yang
dapat membunuh diriku”.
Tentang percakapan tersebut didengar oleh Bhagawan Lumanglang yang sedang
dalam keadaan berupa laba-laba. Bhagawan Lumanglang segera kembali ke surga,
menghadap Dewa Wisnu seraya memberitahukan keadaan Watugunung.
Besok paginya sekitar pukul 9 (dawuh tiga), Dewa Wisnu sudah berwujud
kurma, berkepala seribu, kuku tanganya sangat panjang dan sangat kuat,
segera berangkat untuk bertempur melawan sang Watugunung.
Saat itu adalah Redite Kliwon, peperangan berlangsung sangat sengitnya. Sang
Watugunung dapat ditundukkan dan tergeletak di tanah (mrecapada).
Itulah sebabnya disebut ”Watugunung mati terbunuh oleh Batara Wisnu,
hari kematiannya ini dinamai ”Candung Watang”.
Besoknya adalah hari Anggara Pahingnya mayatnya ditarik-tarik oleh Sang
Lumanglang, sehingga hari itu disebut hari ”paid-paidan”.
Hari Budha Pon datanglah Bhagawan Budha, sang Watugunung dihidupkan kembali,
tetapi hanya satu dauh, kemudian dibunuh kembali oleh Batara Wisnu, hari
itu disebut Budha Urip.
Hari Wrhaspati datanglah Bhagawan Wrhaspati dengan rasa kasihan benar kepada
sang Watugunung, sehingga dihidupkan kembali tetapi sebentar, kemudian
dibunuh kembali oleh Hyang Wisnu, hari itu disebut Panetan.
Pada hari sukra Kliwon, Hyang Siwa mengetahui bahwa sang Watugunung mati dan
turunlah beliau untuk menghidupkan kembali sang Watugunung, harinya
disebut dengan Pangredanan.
Saat itu datanglah Batara Wisnu hendak membunuhnya kembali namun dapat
dicegah oleh Bhatara Siwa,
sabdanya: ”Hai anakku, janganlah hendaknya sang Watugunung dibunuh, biarkanlah
untuk hari-hari selanjutnya supaya diingat orang sebagai bahan
pertimbangan atau perbandingan.” Maka menjawablah sang Batara Wisnu, sabdanya:
”Yang Watugunung amat besar dosanya, mengawini orang yang sudah bersuami
dan memperistri ibunya sendiri”.
Dikemudian hari tidak boleh orang yang sudah bersuami dan memperistri
ibunya sendiri”. Batara Wisnu pun mengutuk sang Watugunung, sabdanya:
”Tiap-tiap enam bulan engkau runtuh (jatuh).
Jawaban sang Watugunung: ”Baiklah hamba menuruti sabda tuanku, hamba mohon
apabila hamba jatuh di darat hendaknya turun hujan dan bila hamba jatuh di laut
supaya hari panas terik, agar hamba tidak kedinginan.
Permohonan sang Watugunung semua dikabulkan serta rakyat sang Watugunung serta
pada Dewa yang menjadi korban dalam pertempuran itu dihidupkan kembali.
Demikianlah diceritakan kisahnya dalam Mitologi
Hindu Dharma, Watugunung menjadi terbawah dan terakhir dari pawukon,
yang juga disebutkan Hari Raya
Saraswati sebagai perayaan ilmu pengetahuan yang dirayakan pada
wuku watugunung ini.