1
|
||
2
|
||
3
|
||
4
|
||
5
|
Brahman (Keyakinan terhadap Tuhan)
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
1
|
Agama Hindu mendidik
umatnya untuk yakin akan adanya kemahaagungan Sang Hyang Widhi Wasa. Tuhan
merupakan sumber segala yang ada di alam ini baik yang tampak nyata maupun
yang abstrak (sekala - niskala).
Dalam menguasai alam
semesta Tuhan Yang Maha Esa dikenal dalam berbagai manifestasi sesuai fungsi
dan kemahakuasaan- Nya dalam nama "Dewa" (Dewa berasal dari kata
Sanskerta DIW- Sinar).
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Banyak gelar lagi yang dipersembahkan oleh umat Hindu kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai:
Dalam ketiga gelar
perwujudan inilah Ia disebut Tri Murti.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2
|
SIFAT - SIFAT TUHAN
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Di dalam kitab Wrhaspatitattwa
terdapat keterangan tentang sifat- sifat Tuhan yang disebut Asta Sakti atau
Astaiswarya yang artinya delapan sifat kemahakuasaan Tuhan.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Kedelapan sifat
keagungan Sang Hyang Widhi Wasa ini, disimbulkan dengan singgasana teratai
(padmasana) yang berdaun bunga delapan helai (astadala). Singgasana teratai
adalah lambang kemahakuasaan- Nya dan daun bunga teratai sejumlah delapan
helai itu adalah lambang delapan sifat agung/ kemahakuasaan (Astaiswarya)
yang menguasai dan mengatur alam semesta dan makhluk semua.
|
Atman (Keyakinan terhadap Atman)
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Atman adalah merupakan
percikan- percikan kecil (halus) dari Brahman/ Sang Hyang Widhi Wasa yang
berada di dalam setiap makhluk hidup. Atman di dalam badan manusia disebut:
Jiwatman yaitu yang menghidupkan manusia. Hubungan atman dengan badan ini
ibarat bola lampu dengan listrik. Bola lampu tidak akan menyala tanpa
listrik, demikian pula badan jasmani takkan hidup tanpa atman.
Demikianlah atman itu menghidupkan sarwa prani (makhluk di alam semesta ini). Indria tak dapat bekerja bila tak ada atman. Misalnya telinga tak dapat mendengar bila tak ada atman, mata tak dapat melihat bila tak ada atman, kulit tak dapat merasakan bila tak ada atman. Atman itu berasal dari Sang Hyang Widhi Wasa, bagaikan matahari dengan sinarnya. Sang Hyang Widhi Wasa sebagai matahari dan atma- atma sebagai sinar- Nya yang terpencar memasuki dalam hidup semua makhluk. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Sifat- sifat Atman.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Di dalam kitab
Bhagavad-Gita terdapat penjelasan tentang sifat- sifat atma. Secara singkat
sifat- sifat atma itu sebagai berikut:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Bhagavad-Gita II sloka
23, 24, dan 25 menyebutkan:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Perkataan Dia dan Nya dalam sloka ini sama dengan atma. Jadi atma itu dikatakan mengatasi segala elemen materi, kekal abadi, dan tidak terpikirkan. Oleh karenanya atma itu tidak dapat menjadi subyek maupun obyek dan tindakan atau pekerjaan. Dengan perkataan lain atma itu tidak terkena oleh akibat perubahan- perubahan yang dialami pikiran, hidup, dan badan jasmani. Semua bentuk ini bisa berubah, datang, dan pergi, tetapi atma itu tetap langgeng untuk selamanya. |
Karmaphala (Keyakinan terhadap hukum Karma).
|
||||||||||
Karmaphala terdiri
dari dua kata yaitu karma dan phala, berasal dari bahasa Sanskerta. "Karma" artinya
perbuatan dan "Phala" artinya buah, hasil, atau pahala. Jadi
Karmaphala artinya hasil dari perbuatan seseorang.
Kita percaya bahwa
perbuatan yang baik (subha karma) membawa hasil yang baik dan
perbuatan yang buruk (asubha karma) membawa hasil yang buruk. Jadi
seseorang yang berbuat baik pasti baik pula yang akan diterimanya, demikian
pula sebaliknya yang berbuat buruk, buruk pula yang akan diterimanya.
Karmaphala memberi keyakinan kepada kita untuk mengarahkan segala tingkah
laku kita agar selalu berdasarkan etika dan cara yang baik guna mencapai
cita- cita yang luhur dan selalu menghindari jalan dan tujuan yang buruk.
Phala dari karma itu
ada tiga macam yaitu:
Dengan pengertian tiga macam Karmaphala itu maka jelaslah, cepat atau lambat, dalam kehidupan sekarang atau nanti, segala pahala dari perbuatan itu pasti diterima karena sudah merupakan hukum. Karmaphala mengantarkan roh (atma) masuk Surga atau masuk neraka. Bila dalam hidupnya selalu berkarma baik maka pahala yang didapat adalah Surga, sebaliknya bila hidupnya itu selalu berkarma buruk maka hukuman nerakalah yang diterimanya. Dalam pustaka- pustaka dan ceritera- ceritera keagamaan dijelaskan bahwa Surga artinya alam atas, alam suksma, alam kebahagiaan, alam yang serba indah dan serba mengenakkan. Neraka adalah alam hukuman, tempat roh atau atma mendapat siksaan sebagai hasil dan perbuatan buruk selama masa hidupnya. Selesai menikmati Surga atau neraka, roh atau atma akan mendapatkan kesempatan mengalami penjelmaan kembali sebagai karya penebusan dalam usaha menuju Moksa. |
||||||||||
Surga dan Neraka.
|
||||||||||
Menurut ajaran agama
(dharma) yang diwahyukan ke dunia dengan perantaraan para Maha Resi, maka
segala baik buruk kegiatan (subha karma atau asubha karma) akan membawa
akibat tidak saja di dalam hidup sekarang ini tetapi juga di akhirat (Surga
dan neraka). Setelah atma (roh) dengan suksma sarira (badan astral) terpisah
dari stula sarira (badan wadag) dan membawa akibat pula dalam penjelmaan yang
akan datang (Punarbhawa), maka atma bersama dengan suksma sariranya
bersenyawa lagi dengan stula sarira. Sang Hyang Widhi Wasa
menghukumnya dengan hukum yang bersendikan Dharma. Dan Dia akan merahmati
atma seseorang yang berjasa dan yang melakukan amal kebajikan yang suci
(subha karma) dan Diapun akan mengampuni atma seseorang yang pernah berbuat
dosa, bila ia tobat dan tawakal serta tidak akan melakukan dosa lagi.
Tuhan Yang Maha Tahu
bergelar Yamadipati (pelindung Agung Hukum Keadilan) yang selalu menjatuhi
hukuman kepada atma yang tiada henti- hentinya melakukan kejahatan atau dosa
dan memasukkannya ke dalam neraka.
Di sini atma itu
menerima hasil perbuatannya berupa neraka. Adapun penjelmaan atma semacam ini
adalah sangat nista dan derajatnya pun semakin merosot, jika ia selalu
berbuat jahat.
|
PUNARBHAWA / SAMSARA (Keyakinan terhadap
penjelmaan kembali).
|
|
Kata punarbhawa
terdiri dari dua kata Sanskerta yaitu "punar" (lagi) dan
"bhawa" (menjelma). Jadi Punarbhawa ialah keyakinan terhadap
kelahiran yang berulang- ulang yang disebut juga penitisan atau samsara.
Dalam Pustaka suci Weda tersebut dinyatakan bahwa penjelmaan jiwatman
berulang- ulang di dunia ini atau di dunia yang lebih tinggi disebut samsara.
Kelahirannya yang berulang- ulang ini membawa akibat suka dan duka.
Punarbhawa atau samsara terjadi oleh karena jiwatman masih dipengaruhi oleh Wisaya dan Awidya sehingga kematiannya akan diikuti oleh kelahiran kembali. Dalam Bhagavad-Gita Sang Krisna berkata:
Segala perbuatan ini menyebabkan adanya bekas (wasana) pada jiwatma. Bekas- bekas perbuatan (karma wasana) itu ada bermacam- macam, jika yang melekat bekas- bekas keduniawian maka jiwatman akan lebih cenderung dan gampang ditarik oleh hal- hal keduniawian sehingga jiwatman itu lahir kembali. |
|